Loading...

Olahraga Bagi Penyandang Cacat Sumbangsih Bagi Peningkatan Derajat Kesehatan Nasional


Oleh : Dr. Imran Agus Nurali, SpKO

Pengertian sehat menurut Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yg memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Sementara definisi sehat menurut WHO adalah keadaan sehat jasmani, rohani (mental) dan sosial, yang bukan hanya bebas dari penyakit, cacat dan kelemahan. Dari  kedua pengertian tersebut tersirat bahwa bagi penyandang cacat tentunya bukan berarti tidak sehat, selama  masih mampu melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan kemampuan fungsional tubuh yang masih dimilikinya. Selain dari itu kesehatan merupakan hak asasi yang mendasar bagi setiap orang untuk mendapatkannya tanpa terkecuali bagi penyandang cacat, sehingga upaya-upaya untuk menjaga agar penyandang cacat  tetap sehat perlu dilakukan secara menyeluruh dan terpadu, dengan meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat  agar terwujud derajat kesehatan yg setinggi tingginya. Namun dengan segala keterbatasan fisik/ mental yang dimiliki  penyandang cacat dan masih kurangnya sarana prasarana serta aksesibilitasnya, tentunya dapat mengurangi tingkat mobilitas dan aktivitas fisik penyandang cacat yang secara perlahan akan berakibat  menurunnya derajat kesehatan mereka karena suatu penyakit. Jenis penyakit yang sering diakibatkan oleh kurang gerak adalah penyakit tidak menular seperti hipertensi, diabetes melitus, obesitas, penyakit jantung koroner, gangguan lipid darah, osteoporosis, asma serta beberapa jenis kanker. Salahsatu unsur dari derajat kesehatan adalah Umur Harapan Hidup (UHH) dimana secara rata-rata nasional pada tahun 2009, UHH orang Indonesia telah mencapai 70,7 tahun. Angka ini tentunya termasuk UHH para penyandang cacat, karena memang data yang ada tidak membedakan antara penyandang cacat dan tidak cacat. Sampai saat ini penulis belum mendapatkan data-data angka kesakitan dan angka kematian khusus penyandang cacat, sehingga baru dapat berasumsi dengan bahwa derajat kesehatan penyandang cacat lebih rendah dibandingkan dengan yang normal. Hal ini tentunya berkontribusi terhadap angka derajat kesehatan nasional secara menyeluruh Konsep WHO yang dicanangkan pada tahun 2002 dengan motto “Move for health (Bergerak agar Bugar)”, merupakan konsep yang juga berlaku bagi penyandang cacat , sehingga  aktivitas fisik dan olahraga seharusnya merupakan bagian dari keseharian para penyandang . Kedua hal tersebut sebagai bagian dari salahsatu Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang telah dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan selama ini. Konsep ini  tentunya berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia termasuk penyandang cacat,  terlebih dengan Visi Kemenkes untuk menjadikan masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan. Penyandang cacat dapat berperan dalam mencapai tujuan tersebut dengan melakukan pola hidup bersih dan sehat  untuk meningkatkan derajat kesehatan serta tingkat kebugaran jasmani yang optimal sebagai modal penting dalam meningkatkan produktivitas kerja dan kualitas sumber daya manusia khususnya bagi penyandang cacat. Penyandang cacat di Indonesia merupakan aset bangsa yang mempunyai kemampuan dan potensi yang masih dapat ditingkatkan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan untuk dapat lebih berpartisipasi dalam pembangunan. Permasalahan Menurut WHO jumlah penyandang cacat di suatu negara diperkirakan 10 persen dari jumlah penduduk, sedangkan jumlah penyandang cacat di Indonesia sesuai sensus pada tahun 1978 berjumlah 1.793.118 orang atau mencapai 3,11 persen dari jumlah penduduk. (Depsos). Jumlah Penyandang Cacat  sesuai hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2004 adalah 6.047.008  jiwa, yang terdiri dari tuna netra 1.749.981 jiwa (29 %), tuna daksa 1.652.741 jiwa (27 %), eks penderita penyakit kronis 1.282.881 jiwa (21 %), tuna grahita 777.761 jiwa (12,8 %),  tuna rungu wicara 602.784 jiwa (9,9 %). Data lain menunjukkan bahwa anak penyandang cacat sebanyak 358.738 anak yang terdiri dari tuna daksa (35,8 %), tuna netra (17 %), tuna rungu wicara (14,27 %), tuna grahita (12,15 %) dan lain-lain kurang dari 7 % (Departemen Sosial, 2002). Berdasarkan hasil SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) tahun 2001 , angka kecacatan sedang sampai berat sebesar 39 % dari seluruh kecacatan, sebagian besar dapat dicegah atau dihindari. Sesuai dengan hasil Susenas tahun 2003 penyebab kecacatan adalah cacat bawaan sejak lahir 44,6 %, penyakit 37,7 %, kecelakaan 14,4 % dan bencana alam atau lainnya 3,3 %. Adanya keterbatasan penyandang cacat dalam berperilaku hidup bersih dan sehat serta kurangnya gizi karena faktor kemiskinan juga dapat meningkatkan angka kecacatan. Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan, pada pasal 139 menyebutkan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat (ayat 1) dan Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis (ayat 2) terhadap peningkatan derajat kesehatan bagi penyandang cacat, pelayanan kesehatan yang dibutuhkan tidak cukup hanya dengan pelayanan kesehatan yang bersifat rehabilitatif yaitu kegiatan atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi, namun sebaiknya juga bersifat revitalisasi dimana kemampuan seoptimal mungkin yang masih dapat dilakukan dengan keterbatasan fisik / mental yang masih dimilikinya. Salahsatu bentuk revitalisasi bagi penyandang cacat adalah dengan berolahraga. Dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, pada pasal 80 disebutkan bahwa Upaya  kesehatan olahraga ditujukan       untuk meningkatkan kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat. Peningkatan derajat kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat tersebut merupakan upaya dasar dalam meningkatkan prestasi belajar, kerja, dan olahraga, yang dilaksanakan melalui aktivitas fisik, latihan fisik, dan /atau olahraga. Demikian pula dalam Undang – Undang No 3 tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, pada  pasal 30 tentang pembinaan dan pengembangan olahraga penyandang cacat dinyatakan bahwa pembinaan dan pengembangan olahraga penyandang cacat dilaksanakan dan diarahkan untuk meningkatkan kesehatan, rasa percaya diri dan prestasi olahraga. Dari ke 2 perundang-undangan tadi seharusnya secara tersurat dan tersirat penyandang cacat telah mendapatkan porsi yang cukup memadai untuk menunjukkan eksistensinya baik dari sisi kesehatan, kebugaran maupun produktivitas dan prestasinya. Namun sampai saat ini, perhatian bagi pengembangan olahraga penyandang cacat baik dari sisi yang paling mendasar yaitu kebijakan maupun penerapannya seperti sarana – prasarana untuk beraktivitas fisik dengan aksesibilitasnya bagi penyandang cacat pada umumnya hingga pengembangan dan pembinaan bagi atlet penyandang cacat khususnya, perhatiannya masih terabaikan dibandingkan terhadap olahraga normal. Olahraga Penyandang Cacat : Olahraga bagi penyandang cacat adalah olahraga yang khusus dilakukan sesuai dengan kondisi kelainan fisik dan / atau mental seseorang, yang diselenggarakan pada lingkup olahraga pendidikan, olahraga rekreasi maupun olahraga prestasi. Dalam dunia olahraga, partisipasi para penyandang cacat bukanlah sesuatu yang baru, sudah berlangsung lebih dari 1 abad yang lalu sebagai bagian dari  reedukasi dan rehabilitasi  bagi penyandang cacat. Setelah Perang Dunia I, peranan fisioterapi dan kedokteran olahraga sudah sedemikian penting seperti halnya  bidang bedah ortopedi dan penyakit dalam. Klub olahraga penyandang cacat yang pertama kali adalah bagi tuna rungu yang berdiri di Berlin pada tahun 1888, sementara organisasi olahraga bagi tuna rungu tingkat dunia (CISS = Comite International Sports des Sourds ) baru berdiri  pada tahun 1922. Saat ini sudah terdapat 4 organisasi tingkat dunia dan spesifik bagi penyandang cacat yaitu : CP-ISRA (Cerebral Palsy International Sport and Recreation Assosciation); IBSA (International Blind Sport Assosciation); INAS-FID (International Sports Federation for persons with Intellectual Disability) dan IWAS (International Wheelchair and Amputee Sports Federation).  Ke-4 organisasi tersebut tergabung dalam IPC (International Paralympic Committee) yang didirikan pada tanggal 22 September 1989 yang telah beranggotakan lebih dari 160 NPCs (National Paralympic Committees) dari 5 benua, setingkat dengan IOC (International Olympic Committee) bagi olahraga normal. Event olahraga bagi penyandang cacat saat ini sudah tidak berbeda  dengan olahraga normal baik sisi waktu pelaksanaannya maupun penyelenggaraannya. Diawali dari Seoul, Korea Selatan pada tahun 1988 dengan menyelenggarakan Olympiade dan Paralympic dengan selang waktu 2 minggu hingga terakhir pada Olympiade dan Paralympic pada tahun 2008 di Beijing, China. Demikian pula dalam agenda olahraga nasional, pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional dan PORCANAS (Pekan Olahraga Cacat Nasional) mulai di satu paketkan di Palembang pada tahun 2004 yang lalu. Berdasarkan catatan prestasi atlet penyandang cacat Indonesia di dunia olahraga tingkat regional tahun 2005 – 2009 (ASEAN Paragames, setingkat SEA Games), persentase perolehan medalinya jauh lebih baik dari prestasi olahraga normal (lebih dari 50 % dari jumlah atlet mendapatkan medali emas) begitu pula dengan urutan negara pesertanya. Cabang Olahraga yang dipertandingkan dan jenis Kecacatan : Bagi penyandang cacat tuna rungu mempunyai event tersendiri yaitu Deaf Lympic, sedangkan bagi Tuna Grahita adalah Special Olympic. Kedua event tersebut juga diselenggarakan pada Summer event dan Winter event. Peranan Kesehatan Olahraga Diperlukan upaya mendasar bagi penyandang cacat agar bisa sehat, bugar jasmani hingga produktif dan berprestasi khususnya dalam bidang olahraga. Kemitraan yang telah dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan melalui Subdit Bina Upaya Kesehatan Perkotaan dan Olahraga, Direktorat Bina Kesehatan Komunitas Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat , selama ini dapat diperluas, salahsatu sasarannya adalah penyandang cacat. Melalui sarana panti-panti penyandang cacat milik Kementerian Sosial atau sekolah khusus dari Kementerian Pendidikan Nasional maupun pada fasilitas sosial dan umum, aksesibilitasnya tetap terpenuhi sehingga mobilitas mereka dapat lebih luas untuk beraktivitas fisik maupun berolahraga. Para guru pendamping juga perlu dibekali untuk mempunyai kapabilitas yang memadai dalam mengarahkan penyandang cacat agar tetap melakukan aktivitas fisik serta berolahraga. Sarana kesehatan untuk pelayanan kesehatan olahraga yang telah dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan baik di tingkat Puskesmas maupun berupa Balai Kesehatan Olahraga Masyarakat yang berjumlah 12 buah di 11 Provinsi, tentunya dapat membantu membina dan mengembangkan aktivitas fisik dan olahraga bagi penyandang cacat di wilayah kerjanya bersama dengan lintas sektor terkait, dengan harapan dapat menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta meningkatkan umur harapan hidup mereka. Dampak positif yang diharapkan adalah meningkatnya derajat kesehatan penyandang cacat, yang akan memberikan kontribusi positif pula bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Telah disampaikan perkembangan penyandang cacat sebagai bagian dari masyarakat Indonesia dengan permasalahan kesehatan akibat dari kurangnya sarana-prasarana serta aksesibilitasnya, sehingga makin membatasi mobilitas dan aktivitas fisik penyandang cacat termasuk dalam berolahraga. Manfaat beraktivitas fisik dan olahraga dapat berdampak pada kesehatan, kebugaran dan produktivitas serta prestasi bagi penyandang cacat.Olahraga bagi penyandang cacat diharapkan memberikan kontribusi positif bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia.