Loading...

Dirjen GKIA : “Aturan Pengakhiran Kehamilan, Tolong Dibaca Secara Utuh”


[caption id="attachment_10217" align="alignleft" width="300"]Siaran Langsung Melalui salah satu TV Swasta Indonesia Siaran Langsung Melalui salah satu TV Swasta Indonesia[/caption] Jakarta— Menanggapi maraknya polemik tentang Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2014,  Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA, dr Anung Sugihantono, M.Kes ketika selesai wawancara dengan salah satu stasiun  TV  pada Rabu siang kemarin 13/08/2014, mengatakan, penolakan oleh sebagian kelompok masyarakat terhadap PP tersebut disebabkan perbedaan persepsi, untuk itu meminta kepada semua pihak termasuk media untuk membaca peraturan itu secara utuh hingga ke pasal-pasalnya. “Mungkin sebagian orang belum membaca secara rinci PP tersebut. Tolong dibaca secara utuh, detail  jangan sepenggal-sepenggal karena ada pasal-pasal penjelasannya”, jelas dr. Anung. Pada kesempatan itu pula dr Anung menegaskan bahwa, PP itu tidak hanya mengatur mengenai ‘mengakhiri kehamilan’ (aborsi), namun menitikberatkan pada kesehatan reproduksi mulai dari sebelum kehamilan, masa kehamilan, melahirkan, hingga pasca melahirkan. “Semangat PP Kesehatan Reproduksi adalah soal pelayanan kesehatan, praktik mengakhiri kehamilan (aborsi)  tidak dipromosikan melainkan hanya dilakukan dalam keadaan yang tidak dikehendaki”,ujarnya. Lagipula kata dr.Anung, proses penyusunan PP tersebut, telah melibatkan berbagai pihak, termasuk lima kementerian sebagai inisiator.   Untuk diketahui, pada 21 Juli 2014 Presiden SBY telah menandatangani PP nomor 61 tahun 2014 tentag Kesehatan Reproduksi. Dalam PP tersebut, memuat tentang pasal mengakhiri kehamilan (aborsi) itu berlaku bagi perempuan hamil yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat perkosaan. “Penentuan adanya indikasi kedaruratan medis dilakukan oleh tim kelayakan aborsi, yang paling sedikit terdiri dari 2 orang tenaga kesehatan, yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan," bunyi pasal 33 ayat (1,2) PP tersebut. Adapun kehamilan akibat perkosaan merupakan kehamilan akibat hubungan seksual tanpa adanya persetujuan dari pihak perempuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang dibuktikan dengan: a. usia kehamilan sesuai dengan kejadian perkosaan yang dinyatakan oleh surat keterangan/visum dokter; dan b. keterangan penyidik, psikolog atau ahli lain mengenai dugaan adanya perkosaan. [caption id="attachment_10218" align="alignright" width="300"]Proses Tapping Untuk TV Swasta Lainnya Proses Tapping Untuk TV Swasta Lainnya[/caption] “Untuk pelaksanaan PP tersebut, masih harus disiapkan  peraturan pendamping yang harus disusun. Secara operasional PP itu masih membutuhkan sekitar lima permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan) yang saat ini sedang dalam penyusunan,”  kata dr.Anung. PP itu sendiri akan dilakukan pendalaman lebih lanjut. Semua pihak diberikan kesempatan untuk memberikan opini tentang aturan tersebut. "Akan didalami lagi, siapa saja yang bisa memberikan opini untuk mengakhiri kehamilan, baik dari segi kesehatan maupun lainnya seperti agama. Tapi kita (Kemenkes) konsentrasinya di pelayanan kesehatan seperti standar tenaga kesehatan yang boleh dan fasilitas apa yang bisa," ungkap dr Anung. Humas GKIA